Hidup dan mati ada dalam genggaman Ilahi Rabbi. Takdir adalah
kepastian, tapi hidup harus terus berjalan. Sementara kini, rumahku tak lagi
menjadi zona nyamanku.
Beranjak dari ketika aku dilahirkan dari salah seorang rahim wanita tangguh di dunia ini. Aku memanggilnya dengan panggilan “Mamak”. Bagiku manusia satu-satunya yang selalu memahamiku, bahkan dengan caranya yang hebat membuatku selalu takjub.
Nasehat baiknya selalu menjadi tombak dalam menitih perjalanan
hidupku hingga saat ini. Apakah mamak sudah bahagia di sana? Aku selalu
berharap dipertemukan dengannya walau hanya lewat bunga tidurku.
Mamak, hari-hariku kini hampa. Bahkan selalu saja mengeluarkan asap kegelisahan, apa aku bisa menjalani ini semua. Aku bahkan hampir saja menyerah, mendengar berita itu lemas, hanya tangisan yang terisak-isak hingga membangunkan seisi ndalem (rumah ustad), tak tau arah harus apa aku setelah tanpamu.
Pikiranku benar-benar kacau kala itu. Padahal, kita tau kan
tempat keluh kesah kita setelah di pondok, pulang dan bertemu seorang malaikat
tanpa sayap kita saat di rumah. Itulah salah satu obat terhebat bagi seorang
santri yang kurasakan selama ini.
Kini zona nyamanku mulai hilang perlahan, aku sering termenung dengan keadaan. Ku rasa akupun jarang sekali untuk pulang ke rumah, karena tempat ternyamanku untuk pulang hilang dan dia sudah kembali di kampung halaman yang sesungguhnya.
Itulah hidup, hanya tempat peersinggahan sementara tanpa
meninggalkan bekas jejak kaki. Hanya ingatan yang membekas terbalut kenangan
foto-foto dalam bilik rumah. Apa itu cukup untuk selalu kupandangi, tentu
tidak!. Semua butuh proses untuk membuka lembaran baru dan bangkit dari masa
lalu.
Semua tentang kisah, rumah yang sangat bermakna indah mengisahkan kenangan antara aku dan Mamak. Sudut-sudut di setiap ruang, meng-isyaratkan simbol yang tertuju padanya. Tak ada barang sekalipun yang berserakan di rumah, itulah Mamak.
Orang yang tak suka dengan kondisi rumah yang berantakan. Rumahku,
memang tempat ternyaman ketika aku pulang dari rantauan untuk menimba ilmu di
kota kecil nan dingin ini. Rumah yang sesungguhnya menjadi tempat
peristirahatan sementara di dunia ketika penat seharian berjuang, kini hanya
bangunan kokoh seakan tanpa penghuni.
Zona nyaman yang tak lagi nyaman, ku kubur semua harapan yang tak
mungkin lagi untuk diwujudkan bersama. Perlahan menepi, mencari udara segar dan
mulai tersadar bahwa apa yang kita miliki saat ini hanyalah titipan dari Sang
Kuasa. Zona yang kujalani saat ini tentu harus terus disyukuri.
“Akankah kita bertahan dengan diri kita yang seadanya, atau melakukan perubahan yang bermakna dan mulai bangkit dari realita kehidupan yang ada? Atau justru malah terbawa arus dengan sendirinya?”
Hidup pasti tentang pilihan, apa yang bisa kita lakukan saat ini
itu yang akan menjadi pondasi kita untuk menuju masa depan. Zona yang saat ini
kita jalani entah nyaman atau tidak, layaknya roda yang berputar. Kita harus
bisa menyikapi suatu musibah dengan bijak.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S Ar-Rad: 11).
Ayat tersebut mengajarkan pada kita bahwasannya: Ayat ini sebagai motivasi bahwa Allah
tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih kecuali dengan usaha dan
jerih payahnya sendiri.
Knowing yourself is the beginning of all wisdom. Kita harus melakukan perubahan dengan mengenali diri sendiri, sebelum melakukan perubahan
dan sebelum banyak waktu dan kesempatan yang terbuang. Tentunya selalu
memberikan perubahan yang positif pada diri sendiri dan orang-orang yang ada di
sekitar kita.
Perubahan itu melalui banyak
proses. Tidak ada yang instan bahkan untuk menyembuhkan lukapun kita butuh yang
namanya waktu. Terus berbenah Allah pasti bantu hamba-hamba-Nya yang senantiasa
ingin merubah nasibnya melalui jerih payahnya walau terkadang selalu meneteskan
air mata.
Post a Comment
Post a Comment