Aku tumbuh dengan sempurna, tapi tidak dengan caraku lahir. Aku berbeda dengan saudaraku.
Inilah hidupku yang sesungguhnya. Beranjak dari kamar tempatku
bersembunyi, merenung dan meratapi nasib kala itu. Aku marah pada diriku sendiri.
Kacau balau seakan penyesalan itu terulang lagi dan lagi.
Aku terlahir dari keluarga berada, serba mampu. Apapun permintaanku
selalu saja ayah dan ibu memenuhi kebutuhanku secepat kilat. Rasanya baru
kemarin aku meminta sepeda baru, berwarna hijau muda kesukaanku. Rasanya baru
kemarin Ibu menyisiri ramput gondrongku yang enggan aku potong. Sejak dulu rasanya jadi anak laki-laki Ibu yang paling serba ini-itu hanya aku.
Aku anak bungsu di keluargaku, akupun paling dimanja. Itula Ibu
selalu khawatir akan kondisiku, apalagi ketika aku teringat bagaimana Ibu
melahirkanku dengan taruhan nyawa sekalipun.
Ibu kekurangan darah, sehingga aku harus terlahir dengan cara operasi.
Kau tahu Ibu menjual harta berharganya demi kelahiranku di dunia ini. Berbalut
jeritan, tangisan yang ter-isak Ibu berjuang dengan ikhlas demi bertemu
denganku.
Akupun terlahir dengan utuh layaknya bayi yang suci seperti
bayi-bayi lainnya. Setelah kelahiranku di bumi Ibu tak pernah memperlakukanku
beda dengan saudara-saudaraku lainnya. Semua kebutuhan dan permintaanku
terpenuhi tanpa ada kekurangan sedikitpun.
Kau tahu, aku tak pernah melupakan untuk sesekali membelai lembut
perut Ibu ketika aku beranjak pergi bermain atau ketika aku terlelap menkmati
indanya buaian bunga tidurku.
Aku kagum dengan sosoknya, tapi… aku selalu mengecewakannya!. Kini,
dia sudah pergi jauh dari kehidupanku. Aku tak pernah melihat sosok ayah yang
selalu ada di samping Ibu, ketika keringat penuh letih itu selalu datang
bercucuran.
Ibupun tak pernah sekalipun mempermasalahkan tentang hal itu. Ibu
memang malaikat tanpa sayapku. Allahpun selalu saja menjadikan Ibu sosok yang
kuat akan keadaan yang selalu saja mengecewakannya.
Ya, termasuk aku yang putus dari salah satu pondok pesantren modern
terbesar di Jawa Tengah. Entahlah, apa itu suatu jalan takdir dari-Nya. Atau
aku terlalu mementingkan egoku sejak saat itu.
Semua itu hanya tinggal ilusi. Tapi kini Ibu hanya membutuhkan doa
yang dipanjatkan oleh anak-anaknya, termasuk aku. Mulai saat ini kehidupanku
benar-benar berubah dan perjuanganku tanpa Ibupun dimulai.
Post a Comment
Post a Comment