Bulan ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu masyarakat muslim. Mereka memiliki cara atau tradisi lokal dalam menyambut datangnya bulan ramadhan. Nyadran memang sudah menjadi ritual yang banyak dilakukan masyarakat setempat. Tak bisa dipungkiri jika dalam suatu masyarakat terdapat pro dan kontra dalam melakukan ritual tersebut.
Memaknai Datangnya Bulan Ramdahan
Datangnya
bulan ramadhan identik dengan hari perayaan yang digelar di desa-desa tertentu,
khususnya masayarakat Jawa Tengah. Menjelang ramadhan memang kental adanya
ritual-ritual khas Jawa. Tak sedikit pula masyarakat yang turut ikut serta
dalam meramaikan hari penting tersebut. Bahkan dari berbagai kalangan
masyarakat, baik muda, remaja dan lansia.
Bulan ramadhan membawa kegembiraan bagi umat Islam, bagaimana tidak? Karena pintu-pintu surge dibuka leba-lebar dan pintu neraka ditutup dengan sangat rapat. Melakukan kebaikan-kebaikan setiap harinya demi mendapatkan Ridho dari Allah Swt.
Semua bersemangat menyambut kehadiran bulan suci ini. Tentu saja tak
ingin menyesal dengan menyia-nyiakan datangnya bulan ramadhan. Bulan ramadhan
bagaikan setetes air yang berada di tengah gurun pasir dan diri kita ini adalah
seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan mencari Ridho Allah.
Datangnya
bulan ramadhan dimaknai sebagai bulan yang penuh ampuanan. Bulan yang penuh
keberkahan, dimana semua pahala kebaikan dilipat gandakan. Orang berlomba-lomba
dalam meraih kemenangan, pasalnya sebulan penuh melakukan puasa, sungguh tak
mudah, menahan diri dari rasa lapar dan haus. Memerlukan kesabaran yang ekstra
namun dengan penuh keikhlasan dalam menjalaninya maka, Allah berikan pahala
yang manis pula yakni surga.
Ritual Nyadran Guna
Sambut Bulan Ramdhan
Tradisi nyadran memang sudah ada sejak nenek moyang kita, begitu sangat kental tradisi ini bercampur dengan kebudayaan Hindu-Budha. Sekitar kurang lebih pada abad ke-13 setelah Islam masuk ke Nusantara. Perlahan-lahan tradisi nyadran mulai menyatu atau terakulturasi dengan agama Islam.
Dapat kita lihat dengan di tanah
Jawa sendiri, ketika Wali Songo berdakwah dalam mengajarkan agama Islam.
Akhirnya terjadi perpaduan antara Islam dengan tradisi ritual dengan di selingi
ngaji atau tahlilan hingga dinamakanlah tradisi nyadran.
Tradisi di masyarakat, dalam menyambut datangnya bulan ramadhan ini biasanya masyarakat melakukan nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan spiritual yang dilakukan masyarakat dengan berziarah ke makam para leluhur.
Kegiatan nyadran meliputi;
membersihkan makam, kirim doa (tahlilan), dan tausiyah dari Kiai setempat.
Bisanya para peserta nyadran membawa makanan yaitu berupa tumpeng, ingkung, apem,
dan jajanan pasar yang dibawa ketika menuju lokasi makam.
Nyadran dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah ketika menjelang datangnya bulan ramadhan. Ritual ini sudah berlangsung sejak dulu di kalangan masyarakat. Lazimnya nyadran dilakukan di makam yang dimana menjadi tokoh orang besar di daerah tersebut.
Misalnya ziarah ke makam Kiai
Abdul Wahid, Tingkir Lor, Salatiga. Dimana sosok Kiai Abdul Wahid merupakan putra dari Syekh Abdul Halim bin Syekh
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda) bin Syekh Abdurrohman yang dijuluki sebagai
Joko Tingkir (Sultan Pajang) bin Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin), hingga mebyambung
pada Rasulullah SAW.
Kompleks makam Kiai Abdul Wahid sendiri terletak di sebuah dataran aagak tinggi, banyak di kelilingi pohon sehingga jika kita ziarah di sana, sungguh akan merasakan ketenangan dan terasa sangat sejuk.
Setelah diketahui bahwa makam tersebut
adalah makam tokoh besar yakni orang
saleh. Kini banyak peziarah yang berdatangan mendoakannya dengan niat ngalap
barokah (mencari keberkahan).Penduduk setempat juga selalu mengadakan nyadran
menjelang bulan ramadhan dengan merawat dan membersihkan makam Kiai Abdul Wahid
di Tingkir, Salatiga.
Respon Masyarakat
Adanya Tradisi Lokal Nyadran
Apakah nyadran tradisi yang syirik? Dengan adanya sesaji yang dibawa ke makam sebenarnya kembali lagi pada niat seseorang itu. Bagaimana memaknai tradisi yang sedang di jalankan tersebut.
Hal ini menjadi perdebatan di kalangan umat Islam di
Indonesia. Pasalnya sering kali terjadi keliru dalam hal memaknai tradisi
nyadran tersebut. Masyarakat yang beranggapan kontra tentu saja menolak dan
tidak melaksanakan tradisi nyadran tersebut, begitu juga sebaliknya jika
masayrakat pro akan tradisi nyadran mereka akan berupaya lebih demi kesuksesan
acara nyadran di desa setempat.
Tradisi nyadran sebenarnya dengan adanya sesaji sebgai landasan doa. Dapat kita maknai dengan adanya tumpeng dalam acara tersebut sebagai lambang pengharapan kepada Tuhan, maka dari itu sesaji memang bukan untuk menyembah roh halus. Melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.
Tak hanya itu nyadran juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Bahkan nyadran juga memiliki makna sosial yakni dalam acara tersebut adanya sikap interaksi sosial, gotong royong membersihkan makam, nyadran juga sebagai perantara dalam menjalin silaturahmi yang begitu erat terhadap anggota keluarga lainnya.
Inilah yang harus kita lestarikan banyak hal
yang bermanfaat yang dapat kita petik adanya tradisi nyadran, memang sangat
erat akan kearifan lokal bangsa. Tertanamnya sikap untuk menghormati leluhur
dengan cara mendoakannya adalah sikap yang mulia yang harus dijunjung tinggi.
Post a Comment
Post a Comment